Rainbow Warrior II Pensiun - Sains KOMPAS |
- Rainbow Warrior II Pensiun
- Sulawesi Harus Jadi Prioritas Konservasi
- Bumi Sebenarnya Tak Perlu Bulan
- "Gubug Penceng", Penanda Arah Selatan
- Prof Possingham Berikan Kuliah Umum
Posted: 17 Aug 2011 09:13 AM PDT Greenpeace Rainbow Warrior II Pensiun | Nasru Alam Aziz | Rabu, 17 Agustus 2011 | 16:13 WIB
Foto: TERKAIT: SINGAPURA, KOMPAS.com -- Maskot lumba-lumba berisi kapsul waktu tak lagi menghiasi anjungan Rainbow Warrior II. Kompas dan lonceng warisan dari Rainbow Warrior I pun dilepas. Beberapa hari terakhir, simbol-simbol kebesaran Rainbow Warrior mulai dipreteli. Tak ada lagi semburat warna pelangi dengan merpati putih yang menerbangkan seranting daun zaitun. Selasa (16/8/2011), dalam sebuah upacara di Singapura, Rainbow Warrior II, mengakhiri kiprahnya selama 22 tahun sebagai kapal legendaris Greenpeace. Kapal yang sudah mengarungi samudera selama 52 tahun itu kini memulai perjalanannya sebagai kapal pelayanan kesehatan dan bantuan darurat bersama Friendship, sebuah organisasi nonpemerintah di Bangladesh. Rainbow Warrior akan berganti nama menjadi Rongdhonu, yang berarti "pelangi" dalam bahasa Bengali. Rainbow Warrior II pertama kali berlayar untuk aksi-aksi Greenpeace tahun 1989, menggantikan Rainbow Warrior I yang dibom oleh agen rahasia Perancis tahun 1985. Selanjutnya, Rainbow Warrior II akan digantikan oleh Rainbow Warrior III yang konstruksinya sudah 50 persen. Rainbow Warrior baru ini akan diluncurkan pada Oktober 2011, bertepatan dengan peringatan 40 tahun Greenpeace. |
Sulawesi Harus Jadi Prioritas Konservasi Posted: 16 Aug 2011 11:49 AM PDT Sulawesi Harus Jadi Prioritas Konservasi Yunanto Wiji Utomo | Tri Wahono | Selasa, 16 Agustus 2011 | 18:49 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Sulawesi harus jadi prioritas tertinggi dalam konservasi di Indonesia. Hal ini diungkapkan oleh guru besar matematika dan ekologi University of Queensland, Hugh Possingham, dalam kuliah umum bertajuk "The Business of Biodiversity : Decision Science for Conservation Problem", Selasa (16/8/2011) di Kedutaan Australia, Jakarta. "Indonesia harus mengkaji prioritas konservasinya. Tapi berdasarkan analisis, saya merekomendasikan bahwa Sulawesi harus menjadi prioritas tertinggi dalam konservasi," ungkap Possingham. Possingham mengatakan, Sulawesi menjadi yang paling utama sebab termasuk dalam kawasan Wallacea. Kawasan Wallacea memiliki keanekaragaman hayati yang kaya, baik di darat maupun lautannya dan relatif belum banyak diperhatikan dibanding Sumatera dan Kalimantan. Biodiversitas di Sulawesi menurutnya juga penting bagi dunia. Lebih lanjut, Possingham menuturkan, pemilihan Sulawesi bukan berarti mengabaikan masalah yang terjadi di pulau-pulau lain. Namun, dengan budget yang terbatas, pemilihan lokasi memang harus dilakukan sehingga bisa mendapat manfaat tertinggi dalam konservasi serta meminimalkan alokasi budget di tempat yang kurang perlu. "Setelah Sulawesi, prioritasnya Jawa dan Bali, lalu Borneo dan wilayah Peninsular Malaysia," kata Possingham yang juga Direktur Australian Research Council Center of Excellence for Environmental Decision. Possingham menggarisbawahi, prioritas konservasi yang dikembangkannya didasarkan pada perhitungan matematis yang melihat tiga faktor, jumlah spesies endemik yang ada di wilayah tertentu, budget yang harus dikeluarkan serta kemungkinan kesuksesan program konservasi. Scoring tiap wilayah kemudian dihitung dan hasilnya menyatakan prioritas wilayah. Perhitungan matematis yang dikembangkan Possingham tidak hanya berguna untuk penetapan lokasi prioritas, tetapi juga spesies prioritas yang mesti diselamatkan. Ia mengatakan, banyak program konservasi saat ini yang menaruh perhatian pada spesies yang paling terancam punah, padahal pendekatan itu tak selalu tepat. Possingham percaya, perhitungan matematis sangat penting dalam konservasi. "Ini seperti menjadwalkan kereta api, kalau tak memakai matematika, maka akan terlewat dan takkan berjalan," pungkasnya. |
Bumi Sebenarnya Tak Perlu Bulan Posted: 16 Aug 2011 05:28 AM PDT Bumi Sebenarnya Tak Perlu Bulan Yunanto Wiji Utomo | Tri Wahono | Selasa, 16 Agustus 2011 | 12:28 WIB
KOMPAS.com — Simulasi stabilitas Bumi untuk berputar pada porosnya menunjukkan bahwa sebenarnya Bumi tak perlu Bulan. Dalam artian, tanpa kehadiran Bulan pun, dinamika Bumi tetap stabil sesuai simulasi tersebut. "Bulan yang besar memang bisa menstabilkan planet. Tapi dalam banyak kasus, hal itu tak dibutuhkan," ungkap Jason Bames, astronom University of Idaho yang melakukan simulasi itu. Bulan yang relatif besar saja yakni beberapa ratus lebih kecil dibandingkan Bumi tidak terlalu besar pengaruhnya. Bandingkan dengan satelit Phobos milik Mars yang ukurannya 60 juta kali lebih kecil daripada Bulan. Astronom percaya, efek Bulan pada stabilitas rotasi Bumi tak sebesar yang diperkirakan. Tanpa Bulan, kemiringan Bumi hanya akan berubah sebesar 10 hingga 20 derajat dalam kurun waktu 500 juta tahun. Perubahan itu memang bisa berdampak pada iklim. Namun, dampak iklim yang ada tak akan terjadi secara luas sehingga tidak mengganggu proses evolusi makhluk hidup. Astronom pun percaya, Bulan juga tidak dibutuhkan oleh planet lain di semesta yang berpotensi mendukung kehidupan. Mereka justru percaya, tanpa planet lain seperti Jupiter, perubahan kemiringan Bumi justru akan terjadi secara liar. "Ini karena Jupiter sangat masif," kata Bames seperti dikutip situs Daily Mail, Kamis (11/8/2011) lalu. Hasil simulasi ini berbeda dengan teori yang berkembang. Selama ini dipercaya bahwa tanpa Bulan, kemiringan Bumi akan terus berubah dan perubahan iklim yang besar akan terjadi. Matahari mungkin bersinar di kutub dan mencairkan es sehingga berpengaruh pada evolusi makhluk hidup. Hasil penelitian Bames dipublikasikan di jurnal Astrobiology Magazine bulan ini. |
"Gubug Penceng", Penanda Arah Selatan Posted: 15 Aug 2011 04:32 AM PDT KOMPAS.com - Salah satu rasi bintang yang memiliki arti penting bagi bangsa-bangsa di belahan Bumi selatan adalah Crux yang di Indonesia dikenal dengan sebutan rasi Layang-layang. Jauh sebelum nama Layang-layang dikenal, sejumlah etnis Nusantara mengenal rasi ini sebagai Lintang Gubug Péncéng dan Ikan Pari. Rasi ini memiliki makna penting karena menjadi penanda arah selatan. Lima bintang terang yang dimilikinya dan bentuknya yang sederhana membuat rasi ini mudah diamati dan diidentifikasi. Selepas Matahari terbenam selama Agustus ini, rasi Layang-layang terlihat cukup rendah di langit selatan, yakni 10-30 derajat di atas horizon. Rasi ini terlihat di langit malam sejak April-Agustus, tetapi waktu terbaik mengamatinya antara Mei dan Juni. Peneliti Planetarium Jakarta yang juga Pembina Himpunan Astronom Amatir Jakarta, Widya Sawitar, Kamis (11/8/2011), di Jakarta, mengatakan, meski kemunculan rasi ini menjadi penanda datangnya musim kemarau, fungsi penunjuk arah merupakan yang utama. Saat rasi ini menghilang dari langit malam pada September, muncul rasi Orion atau Lintang Waluku. Rasi Orion memiliki arti paling penting bagi masyarakat Jawa karena menjadi penanda dimulainya masa bercocok tanam. Nama Gubug Péncéng berasal dari kisah sejumlah pemuda yang membangun rumah. Di depan rumah yang dibangun, setiap hari lewat seorang perempuan cantik yang akan mengantar makanan ke sawah. Kecantikan perempuan itu mengganggu konsentrasi para pemuda. Alhasil, rumah yang dibangun bentuknya miring alias péncéng (Jawa). Gambaran itu diabadikan menjadi nama rasi Gubug Péncéng. Perempuan cantik diabadikan sebagai Lintang Wulanjar Ngirim, yang dalam astronomi modern dikenal sebagai bintang Alpha Centauri dan Beta Centauri. Kedua bintang ini merupakan bagian dari rasi Centaurus yang dalam mitologi Yunani dilambangkan dengan kuda berkepala manusia. Sang perempuan diabadikan sebagai Alpha Centauri yang merupakan bintang terdekat dari Bumi setelah Matahari. Adapun selendangnya yang tertiup angin diabadikan sebagai Beta Centauri. Menurut Widya, sejak kapan masyarakat Jawa mengenal Lintang Gubug Péncéng tidak dapat dipastikan. Namun, semasa pemerintahan Panembahan Senapati dari Kerajaan Mataram yang bertakhta antara 1575 dan 1601, nama rasi ini sudah disebut-sebut dalam sejumlah tembang. "Jika pada masa itu sudah disebut, pengetahuan tentang Lintang Gubug Péncéng dipastikan sudah ada jauh sebelum masa itu," katanya. Masyarakat Jawa pesisir mengenal Lintang Gubug Péncéng dan Lintang Wulanjar Ngirim sebagai satu kesatuan dan menyebutnya sebagai rasi Ikan Pari. Adapun masyarakat Melayu di Sumatera dan Semenanjung Malaya mengenalnya sebagai Buruj Pari. Nama Layang-layang untuk Crux baru muncul dalam era Nusantara modern. Tidak ada literatur kuno yang menyebut Crux sebagai Layang-layang. Salib Selatan Jika etnis Nusantara mengenal Crux dalam pemahaman masyarakat agraris dan maritim, bangsa Barat mengenal rasi ini dalam pemahaman keagamaan. Mereka menamai Crux sebagai Southern Cross (Salib Selatan). Mahasiswa program doktoral Jurusan Fisika Universitas Leiden dan peneliti Institut Nasional untuk Fisika Sub-Atomik (Nikhef), Amsterdam, Belanda, Tri L Astraatmadja, mengatakan, bangsa Barat mengenal Crux pada abad XVI saat melakukan perjalanan mencari sumber rempah-rempah. Bentuk Bumi yang bulat membuat bangsa-bangsa Eropa tidak bisa melihat Crux yang posisinya di belahan langit selatan. "Sistem penamaan bintang atau rasi bintang berkaitan dengan budaya masing-masing masyarakat," katanya. Negara-negara jajahan Barat di belahan Bumi selatan memasukkan gambar rasi Crux dalam bendera negara mereka untuk menunjukkan keunikan tempat mereka, seperti Australia, Selandia Baru, dan Papua Niugini. Adapun bintang rasi Crux pada bendera Brasil yang merupakan bekas jajahan Portugis melambangkan jumlah negara bagian. Crux merupakan rasi terkecil di antara 88 rasi bintang di seluruh langit yang ditetapkan batas-batasnya oleh Persatuan Astronom Internasional (IAU) pada 1930. Dalam astronomi, rasi ini tidak memiliki makna khusus. Selain penunjuk arah selatan, fungsinya sama dengan fungsi rasi lain, yaitu mempermudah penentuan medan langit dan penamaan benda langit. Sejumlah obyek astronomi di sekitar rasi Layang-layang yang banyak menarik astronom adalah Kantung Arang, nebula gelap bahan dasar pembentuk bintang, serta Kotak Berlian, gugus bintang terbuka berusia muda.(M Zaid Wahyudi) |
Prof Possingham Berikan Kuliah Umum Posted: 15 Aug 2011 01:16 AM PDT Bisnis Keanekaragaman Hayati Prof Possingham Berikan Kuliah Umum Haryo Damardono | Marcus Suprihadi | Senin, 15 Agustus 2011 | 08:16 WIB
TERKAIT: JAKARTA, KOMPAS.com- Kedutaan Besar Australia dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia akan menyelenggarakan kuliah umum oleh Profesor Possingham, Selasa (16 /8/2011), dengan tajuk "Bisnis Keanekaragaman Hayati: Ilmu Keputusan Masalah Konservasi". Kuliah umum ini merupakan salah satu bagian dari rencana kunjungan ke Indonesia oleh ilmuwan besar Profesor Hugh Possingham pada 15-16 Agustus 2011. Demikian siaran pers dari Kedutaan Besar Australia yang diterima Kompas, Senin (15/8/2011) pagi. Possingham akan memberikan kuliah dan diskusi dengan anggota masyarakat ilmu pengetahuan Indonesia, pejabat pemerintah, dosen dan mahasiswa tentang ilmu konservasi dan alokasi dana. Possingham adalah profesor Ekologi dan Matematika di Universitas Queensland, anggota dewan Akademi Ilmu Pengetahuan Australia, dan Direktur Pusat Unggu lan Keputusan Lingkungan Hidup di Dewan Penelitian Australia. "Saya yakin kunjungan Profesor Possingham akan memberi inspirasi kepada para ilmuwan dan pembuat kebijakan konservasi Indonesia untuk terus melanjutkan karya besar mereka dalam bida ng mereka masing-masing. Kunjungan tersebut juga akan menawarkan kesempatan yang baik kepada ilmuwan Australia dan Indonesia untuk memperdalam pengetahuan mereka dan bertukar gagasan tentang kesempatan-kesempatan penelitian lebih lanjut," ujar Duta Besar Australia untuk Indonesia, Greg Moriarty. Profesor Sangkot Marzuki, Direktur Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, yakin kunjungan dan kuliah Possingham akan memperkukuh hubungan dan kerja sama penelitian antara Indonesia dan Australia. Kunjungan Possingham ke Indonesia adalah bagian dari program Seri Pembicara Internasional di Asia yang diselenggarakan oleh Akademi Ilmu Pengetahuan Australia. |
You are subscribed to email updates from KOMPAS.com - Sains To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google Inc., 20 West Kinzie, Chicago IL USA 60610 |