Thursday, December 22, 2011

PKBM masih dipandang sebelah mata - Pendidikan Antara

PKBM masih dipandang sebelah mata - Pendidikan Antara


PKBM masih dipandang sebelah mata

Posted: 21 Dec 2011 11:39 AM PST

Serang (ANTARANews) - Pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM) masih dipandang sebelah mata oleh masyarakat, meski berperan cukup penting dalam membangun pendidikan di Indonesia.

"Masyarakat kita masih mendewakan pendidikan formal," kata Dian Haris, anggota Tim Teknis Direktorat Pembinaan Pendidikan Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini Nonformal Informal Kementerian Pendidikan di Serang, Rabu.

Saat membeberkan sejumlah kelemahan PKBM dalam Workshop Peningkatan Mutu Sumber Daya Pengelolaan Lembaga Menuju PKBM Terakreditasi, Dian mengatakan, dari sekitar 7.000 PKBM di Indonesia, baru 13 PKBM yang terakreditasi, termasuk satu PKBM di Kabupaten Serang.

"PKBM mesti menjadi lembaga pembelajaran usaha, pengembangan masyarakat, dan beradaptasi dengan segala kebutuhan masyarakat," kata Dian.

Pada kesempatan yang sama, Kepala Bidang Pendidikan Nonformal Informal Dinas Pendidikan Kabupaten Serang, Dedi Arief Rohidi, mengatakan bahwa sampai saat ini baru satu PKBM di Kabupaten Serang yang telah terakreditasi, yakni PKBM Miftahul Huda di Desa Sindang Heula, Kecamatan Pabuaran.

"Yang sudah memiliki izin operasional ada 70 PKBM. Jumlah PKBM lebih dari itu, tetapi di bawah angka 100," katanya.

Dedi mengatakan bahwa PKBM yang memiliki izin operasional dan akreditasi akan lebih mudah mengembangkan diri terpantau oleh pemerintah pusat.

Dia mengakui bahwa akreditasi masih sulit didapatkan oleh PKBM karena banyak faktor, terutama sarana dan prasarana.

"Di proposal kadang disebutkan bahwa PKBM memiliki sarana penunjang yang cukup, tetapi ketika disurvei oleh tim dari pusat ternyata sarana tersebut tidak ada," kata Dedi.

Ketua Forum PKBM Kabupaten Serang, Abdul Maksum, mengatakan bahwa di tahun 2013 ditargetkan 70 persen PKBM di Kabupaten Serang terakreditasi.

"Ya memang cukup berat, tetapi kita akan berusaha," kata Maksum. (ANT-211/A027)

Pemkab Bekasi akan bangun politeknik negeri

Posted: 21 Dec 2011 07:16 AM PST

Cikarang, Bekasi (ANTARA News) - Pemerintah Daerah Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, berencana melaksanakan program Community College dengan mendirikan Politeknik Negeri pada tahun 2012 mendatang.

"Program Community Collage ini ditawarkan oleh Politeknik Bandung. Kita sudah dengar paparan konsepnya, dan menyambut baik program tersebut," kata anggota Komisi D DPRD Kabupaten Bekasi, Muhtadi, usai rapat dengan pihak Politeknik Bandung dan Dinas Pendidikan setempat di ruang rapat Komisi D, Rabu.

Muhtadi mengatakan, program tersebut diarahkan untuk mengurangi tingkat pengangguran dan peningkatan ekonomi di wilayah setempat. Politeknik tersebut nantinya akan ditekankan pada upaya peningkatan keterampilan dan kompetensi di bidang industri.

"Nanti akan kita petakan dulu kebutuhan SDM industri di Kabupaten Bekasi itu seperti apa, sehingga kurikulumnya akan disesuaikan," tukasnya.

Dikatakan Muhtadi, program Community College dengan pendirian Politeknik Negeri yang mengambil bidang studi industri merupakan sebuah solusi bagi pemenuhan kebutuhan pangsa pasar tenaga kerja di wilayah setempat. Apalagi, kata dia, di Kabupaten Bekasi terdapat ribuan perusahaan baik skala nasional maupun multinasional.

"Konsepnya adalah menyiapkan sumber daya manusia yang handal agar setelah lulus bisa langsung disalurkan ke dunia industri yang ada di Kabupaten Bekasi," ujarnya.

Ditambahkan Muhtadi, minimnya kualitas SDM lokal yang mampu bersaing di dunia industri selama ini memang menjadi persoalan. Terlebih dengan banyaknya SDM dari luar daerah yang membuat kompetisi semakin sulit.

"Dengan adanya Politeknik ini, paling tidak lulusan SMA/SMK di Kabupaten Bekasi tidak kebingungan mencari pekerjaan. Kita tidak mau menjadi penonton di daerah sendiri," ujarnya.

Selain bidang industri, tambahnya, Politeknik tersebut nantinya juga akan dikembangkan ke sektor pertanian dan Migas. Sebab, kedua sektor tersebut memiliki potensi yang sangat tinggi di wilayah setempat.

"Komisi D mengimbau kepada Pemkab Bekasi agar segera memfasilitasi proses perizinan dan pembangunan Politeknik tersebut. Ini adalah kesempatan yang tidak bisa tolak karena merupakan kebutuhan," demikian Muhtadi.

Sementara itu Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Bekasi, Rusdi Biomed, membuka program Diploma II dengan jurusan industri. Untuk awal, tambahnya, lokasinya akan menggunakan gedung SMK Negeri 2 Cikarang.

"Semua kurilulum dan materi pengajarnya nanti akan didatangkan dari Politeknik Bandung. Kabupaten Bekasi menyediakan tempat, mahasiswa dan membantu pembiayaan dari APBD," kata dia.

Rusdi mengatakan, pembahasan belum sampai detail tentang jumlah mahasiswa pada angkatan pertama tahun 2013 mendatang. Pihaknya akan melakukan kajian terlebih dahulu dan menyiapkan kebutuhan teknis lainnya.

"Nanti jika sudah siap pasti akan kita umumkan, diprioritaskan mahasiswanya adalah lulusan SMK/SMA di Kabupaten Bekasi," demikian Rusdi. (ANT-294/T004)

Puluhan guru tak lulus pertanyakan sertifikasi ke Jakarta

Posted: 21 Dec 2011 06:08 AM PST

Madiun (ANTARA News) - Puluhan perwakilan guru yang tidak lulus sertifikasi melalui sistem Pendidikan Latihan Profesi Guru (PLPG) Rayon 115 Malang, Jawa Timur, Rabu, bertolak ke Jakarta guna mempertanyakan penilaian dalam program sertifikasi guru tahun ini.

Perwakilan guru dari 10 kabupaten dan kota di Jawa Timur itu berencana mendatangi Kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional di Jakarta.

Puluhan perwakilan guru tersebut berangkat ke Jakarta dari Terminal Purbaya Madiun dengan menggunakan bus PO Sejuta Bintang, di antaranya berasal dari Kabupaten Madiun, Malang, Pasuruan, Trenggalek, Blitar, Ngawi, Magetan, Ponorogo, Pacitan, dan Kota Madiun.

Sekretaris PGRI Jawa Timur, Ikhwan Sumadi, mengatakan, kedatangannya ke Jakarta untuk menanyakan permasalahan sistem penilaian terhadap guru yang mengikuti ujian sertifikasi tahun 2011 di Universitas Negeri Malang.

"Kami menduga pelaksanaan penilaian di Rayon 155 Malang terjadi penyimpangan, hingga banyak guru yang tidak lolos sertifikasi. Ada kejanggalan pada pelaksanaan penilaian ujian ini, sebab ada guru yang layak lolos tapi tidak lolos dan guru yang tidak ikut ujian malah lolos," ujarnya.

Ada bukti-bukti yang ditemukan oleh para peserta ujian sertifikasi, yakni adanya peserta yang sakit keras dan tidak bisa menulis pada saat pelaksanaan ujian, namun peserta yang bersangkutan dinyatakan lolos, sementara peserta yang sehat malah dinyatakan tidak lolos.

"Bahkan ada juga hasil temuan kami bahwa peserta yang sudah meninggal dunia dan tidak ikut ujian, tapi malah mendapat nilai," katanya.

Pada tahun 2011 dari 10 kota dan kabupaten tersebut terdapat sekitar 11 ribu guru peserta ujian sertifikasi, namun dari jumlah tersebut sekitar 46 persen peserta dinyatakan tidak lolos. Terbanyak jumlahnya dari guru kelas SD, terbanyak kedua dari guru Pendidikan Jasmani, dan terbanyak ketiga dari guru Bahasa Inggris.

Oleh karena itu, PGRI Jawa Timur menuntut kepada Kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan agar meninjau ulang sistem penilaian ujian sertifikasi serta menuntut adanya pelaksanaan ujian sertifikasi ulang.

"Kami menuntut agar para guru yang tidak lulus sertifikasi 2011 dapat mengikuti ujian yang diselenggarakan pada tahun 2012," tandasnya.

Sementara itu Kabid Advokasi dan Perlindungan Hukum, PGRI Kabupaten Madiun, Harsono, mengatakan, di Kabupaten Madiun sendiri terdapat 152 peserta ujian sertifikasi, namun dari jumlah itu, sekitar 64 peserta dinyatakan tidak lolos.

Untuk Magetan terdapat sekitar 197 guru mengikuti ujian sertifikasi dan 82 guru dinyatakan tidak lolos.

"Kami menilai ada banyak kejanggalan disini. Karena itu kami meminta untuk diadakan peninjauan ulang sistem penilaiannya. Baru kalau tidak bisa, dilakukan ujian ulang dengan penilaian yang lebih baik," kata Harsono. (ANT-072/E011)

Psikolog: berikan ponsel pada anak sesuai kebutuhan

Posted: 21 Dec 2011 04:09 AM PST

Semarang (ANTARA News) - Psikolog Universitas Katolik Soegijapranata Semarang Ferdinand Hindiarto mengatakan, orang tua harus memberikan telepon seluler (ponsel) pada anak sesuai kebutuhan, bukan keinginan anak.

"Anak-anak sekolah dasar (SD) sekarang sudah banyak membawa ponsel. Anak seusia mereka sebenarnya buat apa membawa ponsel? Orang tuanya justru yang salah kalau menuruti kemauan anak seperti itu," katanya, di Semarang, Rabu.

Ia mengakui, banyak orang tua yang beralasan memberikan anaknya ponsel agar memudahkan dalam berkomunikasi, mengecek keberadaan si anak, namun sebenarnya alasan itu menunjukkan jalinan komunikasi tak terjalin baik.

Sebab, kata dia, pemberian ponsel bagi anak-anak yang belum waktunya justru membawa pengaruh buruk, seperti terganggunya konsentrasi belajar dengan "game-game" di ponsel, apalagi ponsel canggih yang fiturnya sangat lengkap.

"Ponsel-ponsel canggih dengan fitur lengkap tentu akan menggoda anak untuk keasyikan bermain. Ini tentunya membuat konsentrasi belajar anak menjadi terganggu," kata Wakil Rektor III Unika Soegijapranata Semarang itu.

Ferdinand menjelaskan, usia anak-anak dan remaja merupakan masa eksplorasi ketika mereka selalu ingin mencari tahu dan akan cenderung memanfaatkan alat yang dimiliki, seperti ponsel dengan fitur-fiturnya yang menggoda.

Namun, kata dia, dampak negatif paling besar dari pemberian ponsel pada anak yang belum waktunya sebenarnya membudayakan sikap konsumerisme terhadap anak, sebab seluruh kemauan anak selalu dituruti tanpa melihat kebutuhan.

"Orang tua selalu membelikan anaknya setiap ada ponsel keluaran terbaru, takut merasa anaknya tidak percaya diri jika tidak mengikuti mode ponsel terbaru. Uniknya, banyak orang tua justru bangga melakukan ini," katanya.

Padahal, kata dia, secara tidak sadar orang tua turut mendidik budaya konsumerisme terhadap anak, sebab orang tua yang membentuk konsepsi anak, termasuk perasaan tidak percaya diri jika tidak mengikuti mode ponsel.

Karena itu, ia mendukung langkah banyak sekolah yang melarang siswanya membawa ponsel di lingkungan sekolah, terutama saat berlangsung pelajaran di kelas, mulai jenjang SD sampai jenjang sekolah menengah atas (SMA).

Masih seputar ponsel di sekolah, beberapa waktu lalu sempat terjadi orang tua seorang mantan siswi SMP Perdana Semarang memprotes sekolah gara-gara menyita ponsel yang kedapatan dibawa anaknya saat kegiatan esktrakurikuler.

Orang tua memprotes sekolah karena tidak mau mengembalikan ponsel yang disita, bahkan menyatakan akan dikembalikan setelah siswi itu lulus atau memilih pindah sekolah. Mereka kemudian memindahkan anaknya ke sekolah lain.

Menyikapi hal itu, Ferdinand mengatakan, sekolah memang harus tegas mengatur tata tertib, termasuk soal larangan membawa ponsel, namun jangan sampai otoriter, melainkan tetap menjalin komunikasi secara baik dengan orang tua.

"Sekolah harus berdialog dengan orang tua tentang larangan membawa ponsel, solusinya dicari, misalnya bagaimana nanti orang tua berkomunikasi dengan anaknya. Kalau perlu sekolah beri nomor telepon guru yang mudah dihubungi," katanya. (ZLS/I007)