Budidaya Padi Hasil Radiasi Butuh Dukungan Pemda - Sains KOMPAS |
- Budidaya Padi Hasil Radiasi Butuh Dukungan Pemda
- Varietas Bestari Unggul di Blitar
- "Anda Benar-benar Raja Krakatau..."
- Tukirin dan Ironi Krakatau
- Keindahan yang Berbahaya
Budidaya Padi Hasil Radiasi Butuh Dukungan Pemda Posted: 13 Dec 2011 07:08 PM PST Budidaya Padi Hasil Radiasi Butuh Dukungan Pemda Yunanto Wiji Utomo | Benny N Joewono | Rabu, 14 Desember 2011 | 03:08 WIB SERAMBI INDONESIA/M ANSHAR Ilustrasi BLITAR, KOMPAS.com - Budidaya padi hasil radiasi hasil pengembangan Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) di Blitar membutuhkan dukungan pemerintah daerah. Demikian dikatakan Sonny Ali, Ketua Koperasi Satria Jaya, salah satu mitra BATAN, Selasa (13/12/2011). Varietas padi hasil pengembangan BATAN yang terbukti unggul adalah Bestari. Varietas ini tahan hama wereng dan potong leher, membutuhkan pupuk yang lebih sedikit namun mampu menghasilkan panen yang lebih banyak. Dukungan pada budidaya varietas itu masih kurang. "Aparat pemda di sini seakan alergi dengan keberadaan benih padi unggul yang dihasilkan Batan seperti varietas Bestari." kata Sonny. Hal tersebut disayangkan sebab selama ini belum ada petani yang mengeluh gagal panen karena membudidayakannya. Varietas Bestari bisa menghasilkan beras hingg 11 ton per hektar, sementara varietas lain hanya 9 ton per hektar. Penggunaan pupuk NPK hanya 500 kg, dsedangkan varietas lain bisa 700 kg. Beraslain, B yang dihasilkan juga lebih pulen. "Saat ini, yang paling penting pemda membantu sosialisasi," kata Sonny. Keunggulan bisa saja ada, namun petani perlu melihat secara langsung hasilnya. Umumnya petani enggan beralih ke varietas baru karena tidak mau menanggung resiko gagal. Sonny mengatakan, usaha penangkaran atau pembenihan padi varietas Bestari kini juga sudah dilakukan oleh Koperasi Satria Jaya. Sekitar 4000 petani menjadi anggota koperasi tersebut. Benih padi Bestari yang dibudidayakan bisa bertahan seifat unggulnya selama 4-5 generasi. |
Varietas Bestari Unggul di Blitar Posted: 13 Dec 2011 05:18 PM PST
BLITAR, KOMPAS.com - Padi varietas Bestari yang dikembangkan oleh Badan Tenaga Atom Nasional diakui keunggulannya di Blitar, Jawa Timur. Jenis padi ini banyak diminati oleh petani maupun konsumen. Sonny Ali, ketua Koperasi Satria Jaya, salah satu mitra BATAN, menuturkan bahwa varietas Bestari memiliki keunggulan dalam produktivitas, ketahanan terhadap hama dan biaya. Hasil uji ubinan pada tahun 2008 dan tahun 2010 yuang dilakukan menunjukkan bahwa varietas Bestari bisa menghasilkan beras sebanyak 11,36 ton per hektar. "Varietas Bestari bisa menghasilkan sekitar 11 ton per hektar. Kalau jenis lain hanya berkisar 7 hingga 9 ton," kata Sonny dalam perbincangan bersama Kompas.com, Selasa (13/12/2011). Produktivitas yang tinggi, kata Sonny, berkaitan dengan jumlah malai atau anakan yang lebih banyak. malai pada padi varietas Bestari bisa 26 per pohon, sementara jenis lain hanya 20. Selain itu, prosentase padi yang berisi atau rendemen juga lebih besar. Untuk Bestari, rendemennya 72-73 persen, sedangkan yang lain 68-69 persen. Jumlah bulir padi betsri bisa 175, yang lain 150an. Dari sisi ekonomi, kelebihan Bestari adalah hemat pupuk. "Menanam Bestari ini malah pupuknya tidak makan banyak. Kalau pakai NPK, Bestari hanya 500 kg, tapi kalau jenis lain bisa 700 kg," ucap Sonny. Sementara itu, varietas Bestari juga tahan hama wereng, potong leher dan sundep. Ketahanan terhadap hama juga berpotensi meningkatkan hasil panen padi. Koperasi Satria Jaya memiliki sekitar 4000 anggota. Jumlah anggota yang memiliki sawah sekitar 2000an. Koperasi ini telah menjadi mitra BATAN sejak tahun 2001. Varietas Bestari sendiri diujicoba sejak tahun 2007. Hinga kini, telah ada banyak petani yang menggunakan varietas ini. Besok (14/12/2011), panen raya akan dilakukan. Selain varietas Bestari, varietas lain hasil pengembangan BATAN yang dibudidayakan adalah Mira 1, Diah Suci, Sidenuk dan Rajabasa. Varietas Sidenuk juga merupakan salah satu unggulan selain Bestari. Saat ini, jelas Sonny, yang dibutuhkan adalah sosialisasi dari pemerintah terkait keunggulan Bestari. Petani cenderung sulit beralih ke varietas lain. Dukungan budidaya Bestari dari pemerintah daerah kurang. |
"Anda Benar-benar Raja Krakatau..." Posted: 13 Dec 2011 03:20 PM PST
KOMPAS.com - Tukirin Partomihardjo biasanya tinggal di kepulauan gunung api tanpa penduduk itu selama satu atau dua minggu, tetapi pernah juga hingga 45 hari. Pengalaman hidup sempadan maut di Krakatau tak membuatnya kapok. Saat itu, Tukirin dan tiga kru Zebra Film hendak membuat film dokumenter baru saja mendarat di pantai Anak Krakatau ketika tiba-tiba gunung api itu meletus hebat. Bom batuan pijar dan abu mengepung. Mereka terjebak di pulau itu, sementara perahu nelayan yang mengantarkan mereka memilih menjauh karena ketakutan. "Kami tidak tahu bagaimana akhirnya bisa selamat. Semuanya lari Setelah agak reda, baru kami dijemput. Sampai sekarang saya masih menganggapnya keajaiban," kata dia. Tukirin mendapat julukan "King of Krakatau", "Raja Krakatau". Julukan "Sang Raja Krakatau" ini awalnya dipopulerkan para peneliti dari Jepang. Bagaimana Anda mendapat julukan ini? Awalnya, profesor pembimbing saya di Universitas Kagoshima, yang kemudian pindah ke Universitas Kyushu, menceritakan tentang saya kepada mahasiswanya sebagai "orang kuat dari Krakatau". Mungkin maksudnya bercanda, tetapi waktu saya diundang ke Kyushu tiba-tiba saya diajak panco oleh salah satu mahasiswa di sana. Dia masih muda dan badannya besar. Saya waktu itu sudah berumur 55 tahun, sedangkan dia berumur 29 tahun. Jadi, bisa dibayangkan, kalau panco, sekali dipegang pasti saya kalah. Tapi, dia rupanya sangat serius dan memaksa untuk membuktikan ucapan profesor pembimbing saya itu. Lalu saya bilang, saya baru mau meladeni kalau kamu ke Krakatau karena saya terkenal sebagai orang kuat dari Krakatau. Singkat cerita, dia melakukan penelitian ke Krakatau dan begitu tiba di sana kembali dia menantang saya panco. Karena saya merasa kok anak muda kurang ajar, serius nantang orang tua panco, akhirnya saya kerjai dia. Saya mau panco di puncak Gunung Rakata. Lalu kami berdua naik ke gunung, pagi-pagi berangkat dan berencana sampai jam 12 siang. Saya sudah pengalaman dan tahu medan, tetapi dia tidak tahu medan. Apalagi badannya besar, tidak cocok untuk mendaki gunung. Baru setengah perjalanan dia sudah menyerah. Saya paksa dia untuk naik, saya dorong dan tarik dia agar bisa naik sampai ke atas. Sampai tertatih-tatih. Akhirnya dengan tenaga yang tersisa dia sampai ke puncak. Begitu sampai di atas, saya tawari untuk main panco. Tetapi, karena tangannya sudah rusak kena batu-batu dan duri akibat terperosok berkali-kali, akhirnya dia menyerah tanpa saya harus menyentuh tangannya. Dia pun mengaku kalah. Akhirnya kami turun dan saya anggap sudah tidak ada berita soal panco. Tetapi saya salut dengan orang Jepang, dia begitu konsekuen. Begitu tiba di bawah, di depan banyak orang, tanpa malu-malu dia mencium kaki saya dan mengatakan,"Tukirin you are a real King of Krakatau." Dari mana mendapat kekuatan fisik itu? Saya rajin main "golf" sejak kecil. Golf bukan dengan tongkat, melainkan dengan sabit alias membabat rumput. Sebagai anak kedua dari 10 bersaudara, saya harus rajin membantu orangtua, petani penggarap. Mencari kayu bakar di hutan, mencangkul sawah, atau memanjat kelapa adalah kegiatan masa kecil saya. Lebih dari sekadar kekuatan ragawi, yang lebih penting adalah kekuatan mental. Sayangnya kekuatan mental ini sekarang banyak tak dimiliki anak-anak muda kita. Apakah itu juga yang menyebabkan sulit mencari penerus? Ya. Sampai sekarang saya belum menemukan penerus peneliti muda yang tertarik kepada Krakatau. Selain karena minimnya dukungan dana pemerintah, kalau saya perhatikan, daya juang yang muda-muda menghadapi tantangan alam itu agak kurang. Padahal, saya sebenarnya tidak bisa berenang, tetapi saya tidak kapok ke Krakatau walaupun ke mana-mana harus pakai pelampung. Saya hanya bisa berharap anak-anak muda kita agar bangkit, mau melihat sejarah bangsa, dan harus berani menghadapi tantangan. (AIK/INE) |
Posted: 13 Dec 2011 03:05 PM PST
Oleh Ahmad Arif & Indira Permanasari Tanpa kompas dan peta, dia menjelajah pedalaman Rakata. Nyaris seluruh lekuk pulau itu dan pulau-pulau lain di kompleks Krakatau dikenalnya dengan baik. Dialah Tukirin Partomihardjo (59), profesor botani dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, yang telah menghabiskan lebih dari separuh hidupnya meneliti Krakatau. Dengan tekun dia mendata suksesi ekologi di kompleks pulau gunung api di Selat Sunda ini sejak 1981 hingga sekarang. Dia menjadi satu-satunya ahli suksesi ekologi Indonesia, yang memiliki catatan rinci tentang perkembangan tanaman di kawasan itu dari tahun ke tahun. Lebih dari 50 paper ilmiah tentang suksesi ekologi di Krakatau telah dibuatnya. "Krakatau satu-satunya pulau yang terdata suksesi ekologinya sejak dari kondisi steril setelah letusan 1883. Karena itu, pulau ini sangat berharga bagi dunia ilmu pengetahuan," kata Tukirin. Letusan dahsyat pada 27 Agustus 1883 menyebabkan Pulau Krakatau yang semula tersusun dari tiga puncak, yaitu Danan (450 mdpl), Perbuatan (120 mdpl), dan Rakata (822 mdpl), runtuh ke dalam laut. Hanya tersisa setengah tubuh Rakata yang berbentuk bulan sabit dan sepenuhnya tertutup lava panas serta abu. Pulau Sertung dan Panjang, sisa kaldera tua sebelum letusan 1883 yang berada di lingkar luar Pulau Krakatau, juga tertimbun abu dan batu apung sampai ketebalan lebih dari 50 meter. Letusan ini dianggap para peneliti telah menciptakan area tanpa kehidupan atau semacam tabula rasa di Pulau Rakata, Sertung, dan Panjang. Belakangan, sekitar tahun 1929, muncul Anak Krakatau dari dalam laut. Keempat pulau ini sering kali disebut kompleks Krakatau. Pemerintah tak perhatikan Biasanya Tukirin datang ke kompleks Krakatau itu tiga kali dalam setahun. "Minimal setahun sekali, tetapi pernah juga dua tahun baru ke Krakatau. Terus terang saja, kegiatan saya di Krakatau selama 30 tahun ini sama sekali tidak didanai program pemerintah," Tukirin berkata lirih. "Bisa dikatakan saya hanya mendompleng peneliti asing. Saya diminta mendampingi mereka, lalu sekaligus meneliti sendiri." Peneliti yang pernah didampingi Tukirin kebanyakan berasal dari universitas dan lembaga penelitian di Jepang, Australia, Inggris (Universitas Oxford, Universitas Leeds, Universitas Nottingham), dan Belanda (Universitas Utrecht). Selain itu, Tukirin juga pernah menjadi narasumber sejumlah pembuat film dokumenter asing tentang Krakatau, misalnya Lion Film, Zebra Film, dan British Broadcasting Corporation (BBC). "Untuk media dari Indonesia, baru Kompas yang saya dampingi. Itu pun setelah 30 tahun penelitian saya di Krakatau," katanya. Pemerintah Indonesia, menurut Tukirin, sulit mendanai penelitian ekologi dasar di Krakatau. "Perhatian pemerintah sepertinya lebih ke penelitian terapan yang berpengaruh langsung terhadap sosial dan ekonomi. Tetapi, penelitian ilmu dasar sangat kurang," ujarnya. Para peneliti Indonesia yang meneliti Krakatau, baik di bidang geologi maupun ekologi, bisanya tidak bisa intensif dan berkelanjutan ke Krakatau karena alasan pembiayaan. "Padahal, semua ilmu terapan itu dasarnya ilmu murni," kata Tukirin. Ketertinggalan Indonesia di bidang ilmu pengetahuan, menurut Tukirin, salah satunya karena kurang memperhatikan ilmu dasar. Banyak teori dasar lahir di Indonesia, termasuk kolonisasi dan suksesi ini lahir karena Krakatau, tetapi kita hanya menjadi laboratorium. "Semua peneliti dan penemunya orang asing." Kenapa situasi ini terjadi? Perhatian pemerintah sangat kurang terhadap dunia penelitian, terutama penelitian ilmu pengetahuan dasar. Selain itu, perhatian dan penghargaan kepada peneliti juga sangat kurang. Betul yang diberitakan Kompas baru-baru ini, gaji peneliti sama dengan guru sekolah dasar. Bagaimana Indonesia bisa maju kalau tidak menghargai peneliti dan hasil-hasil penelitian? Padahal, kemajuan suatu negara itu dasarnya penelitian. Misalnya, untuk menghasilkan kultivar (jenis komoditas) labu besar di luar negeri dibutuhkan waktu 25 tahun. Penelitinya begitu tekun meneliti dan merekayasa sehingga menghasilkan strain unggulan. Luar biasa. Kita baru meneliti selama lima tahun saja sudah dianggap menghabiskan uang negara. Politik praktis Apakah keadaan tidak menjadi lebih baik bagi peneliti? Sebaliknya, dulu sepertinya masih lebih baik. Sekarang, kalau saya nilai, semuanya lebih menitikberatkan politik praktis. Semua perhatian tersedot ke sana. Dunia penelitian dikesampingkan. Ilmu dasar tidak dianggap penting. Jika terus begini, bangsa ini saya nilai rentan sekali ke depannya. Bagaimana dengan peran media? Ah... kondisi seperti ini juga hasil didikan media juga. Media kalau meliput politik begitu intensif. Sebaliknya, dunia ilmu pengetahuan dianggap kurang menarik dan hanya sesekali diliput. Tetapi, mungkin ini juga refleksi masyarakat kita yang selalu senang melihat berita politik, tetapi tidak begitu tertarik dengan berita ilmu pengetahuan, kemajuan dunia penelitian, dan temuan-temuan baru. Di Indonesia, temuan-temuan baru kerap dianggap tidak menarik, sedangkan di luar negeri, kalau kita menemukan jenis atau hal baru, itu luar biasa penghargaannya. Biasanya kita baru sadar kalau itu sudah diambil orang. Misalnya, kita sedang meneliti sesuatu pada tahap awal, terus diambil orang dan dikembangkan orang, baru kita teriak-teriak itu milik kita. Dan itu sering terjadi. Apakah itu juga terjadi di Krakatau? Betul. Pernah diumumkan di internet, peneliti yang ingin meneliti ekologi di Krakatau harus izin dan berkoordinasi dengan Universitas Oxford. Itu karena Oxford punya petak penelitian permanen di Krakatau sejak tahun 1989 dan itu terus dipelihara sehingga semua yang akan menggunakan petak itu harus izin Universitas Oxford. Kita tidak bisa berbuat apa-apa karena yang membuat petak itu memang Universitas Oxford walaupun kita yang punya wilayahnya. Universitas kita tidak ada yang pernah membuat petak dan membuat data yang menerus sehingga tidak bisa membuat publikasi terkait perkembangan Krakatau. Hanya saya secara pribadi yang punya data berkala tentang Krakatau. Dan, itu pun karena nebeng. Seberapa penting Krakatau bagi ilmu pengetahuan? Krakatau sejak awal sudah mendapat perhatian istimewa dari ilmu pengetahuan, terutama dari sejarah letusan yang luar biasa dikenal oleh manusia. Banyak letusan lebih besar sebelumnya, tetapi yang terekam lengkap dalam sejarah adalah Krakatau. Letusannya hampir memengaruhi separuh belahan bumi, yang tertutup oleh abu Krakatau dan dikisahkan tsunami yang ditimbulkan letusan terdeteksi sampai ke Jepang, bunyi letusannya bisa terdengar sampai India. Ini suatu informasi sejarah yang luar biasa. Saking luar biasanya, ilmuwan Belanda tertarik sejak awal dan selalu mengikuti perkembangan Krakatau itu. Selain mencatat soal geologi, mereka juga secara menerus mendata perubahan ekologi di pulau ini sehingga lahirlah teori suksesi primer yang dasarnya dari Krakatau, teori fitogeografi pulau juga dasarnya dari penelitian tentang Krakatau, serta sejumlah teori ekologi lainnya. Pelajaran apa yang bisa diambil dari penelitian dasar di Krakatau? Kita beruntung karena memiliki satu-satunya tempat di dunia yang terdata sejak peristiwa sterilisasi dimulai hingga proses suksesinya. Dari perjalanan suksesi Krakatau, kita bisa belajar tentang bagaimana hutan tropis yang kompleks itu terbangun. Dimulai dari perjalanan laba-laba ke pulau ini, diikuti munculnya lumut, paku-pakuan, dan rumput sebagai pionir hingga terbentuknya hutan sekunder. Dengan terungkapnya informasi dan pengetahuan tentang suksesi ini, kita dapat mempelajari dan merestorasi hutan kita yang rusak. Selain itu, kita juga bisa belajar bahwa ada sedemikian banyak tahapan yang harus dilewati untuk membangun ekosistem hutan sehingga kita harus hati-hati menjaganya. Sayangnya, sampai sekarang kita masih dalam tahap memiliki kekayaan Krakatau ini, tetapi tidak memahami dan memanfaatkan kekayaan Krakatau dengan baik. Kita menyia-nyiakannya dan tidak mau belajar dari anugerah alam ini. |
Posted: 13 Dec 2011 02:14 PM PST
Oleh Indira Permanasari dan Ahmad Arif KOMPAS.com - Cemara laut (Casuarina Sp) dan barisan pohon keben (Barringtonia Sp) yang hijau meneduhkan pedalaman Pulau Rakata. Di tepian pantai, hamparan kangkung laut (Ipomoea pes-caprae) menutupi pasir. Tiba-tiba terdengar suara gemerisik, seekor biawak cepat-cepat menyelusup ke balik semak-semak. Kehidupan sedemikian semarak di pulau itu. Tidak terbayangkan, 128 tahun lalu, pulau hijau itu merupakan tanah kosong tanpa kehidupan. Di balik pesonanya, pulau terpencil di Selat Sunda itu menyimpan sejarah kelam. Pada 27 Agustus 1883, Krakatau meletus hebat, menyisakan hanya sepertiga tubuhnya yang kemudian dikenal sebagai Pulau Rakata. Tebaran abu, batu apung, dan material lainnya menyelimuti pulau itu dan memusnahkan kehidupan di atasnya. Namun, justru letusan dan sejarah Krakatau itulah yang menarik orang dari berbagai penjuru dunia untuk datang. Sejak lama letusan Krakatau ibarat magnet yang menyedot pelancong. Bahkan di bulan Mei 1883, saat Krakatau pertama kali meletus, serombongan turis yang penasaran datang ke sana dengan kapal pesiar. Perusahaan Netherland-Indies Steamship Company yang menawarkan "paket wisata" berlayar ke Krakatau dengan kapal uap Governor General Loudon langsung diserbu calon penumpang. Sebanyak 86 penumpang kapal itu dibawa mengelilingi Krakatau, hanya seminggu setelah Krakatau untuk pertama kalinya meletus pada Mei 1883. Bahkan, kapten kapal GG Loudon, TH Lindeman, menyediakan sebuah perahu kecil agar para peserta dapat menjejakkan kaki di Pulau Krakatau yang tengah menggelegak. "Pemandangan pulau itu fantastis: pulau itu telanjang dan kering, hutan tropisnya yang kaya telah lenyap, dan asap naik dari pulau seperti keluar dari oven," tulis AL Schuurman, yang turut dalam kapal GG Loudon. Pemandangan asap yang keluar dari puncak di Krakatau dan hutan lebat yang terbakar akibat letusan memesona kalangan kaya Belanda di Jakarta. Kapal GG Loudon pun rutin membawa penumpang melintas di sekitar Krakatau. Bahkan saat Krakatau akhirnya meletus hebat dan mengirim tsunami pada 27 Agustus 1883, GG Loudon tengah berada di perairan Selat Sunda membawa 111 penumpang. Kapal ini selamat karena nasib baik. Sebagaimana riwayat pendahulunya, asap dan batu pijar yang dilontarkan Anak Krakatau saat ini juga menjadi atraksi utama wisata. Sejak muncul pada tahun 1927, Anak Krakatau menjadi primadona di kompleks kepulauan Krakatau. Bahkan, pariwisata di kawasan pantai Anyer-Carita hingga Lampung, tak akan bergairah tanpa daya dukung Anak Krakatau dan aktivitasnya. Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Provinsi Banten Achmad Sari Alam mengatakan, pada saat gelombang Selat Sunda tidak tinggi dan cuaca cerah, wisatawan dapat diajak melihat panorama Anak Krakatau lengkap dengan lelehan lava pijar maupun letupan seperti kembang api di malam hari ketika gunung api tersebut sedang beraktivitas. Samuel (30) dari Italia datang ke pesisir Pasauran, Banten, bersama tiga temannya, termasuk yang tertarik dengan aktivitas Krakatau. Mereka pernah mendengar tentang sejarah kedahsyatan letusan Krakatau dan menghabiskan sekitar dua hari berkeliling di kawasan itu. "Kami bisa membayangkan kedahsyatan letusan Krakatau. Apalagi, di Italia kami juga punya gunung-gunung api dengan letusan besar seperti Etna dan Vesuvius yang mengubur Kota Pompeii. Di dunia, nama Krakatau tak kalah terkenal," ujarnya. Tak hanya di Indonesia, keindahan, sejarah, dan fenomena letusannya membuat gunung-gunung api potensial menjadi tujuan wisata di dunia sejak dulu kala. Haraldur Sigurdsson dari Universitas of Rhode Islands dan Rosaly Lopes-Gautier dari Fet Propulsion Laboratory dalam tulisannya "Volcanoes and Tourism" menyebutkan, pada abad ke-17 dan ke-18, para aristokrat mengunjungi Vesuvius dan Etna sebagai paket tur besar. Di Eropa, Thomas Cook membuka jalur kereta api khusus ke Puncak Vesuvius pada tahun 1880 yang banyak mengangkut kaum aristokrat. Jalur tersebut hancur sebanyak tiga kali karena aliran lava dan tidak dibangun lagi setelah letusan tahun 1944. Cook juga menghadapi ancaman dari orang-orang lokal Italia yang selama ini mendapatkan penghasilan dari mengangkut turis ke puncak gunung dengan kursi tandu. Pelancong mengunjungi gunung berapi dengan beragam alasan, salah satunya ialah menyaksikan dari dekat kekuatan alam. Ketegangan menyaksikan dari dekat gunung api yang sedang meletus menarik jutaan orang tiap tahun untuk mengunjungi gunung-gunung aktif meletus, seperti Kilauea (Hawai), Stromboli (Italia), dan Arenal (Kosta Rika). Namun, di balik pesonanya, berwisata ke Anak Krakatau tetaplah berbahaya. Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Surono mengatakan, pada tahun 1980-an, pengajar di Institut Teknologi Bandung (ITB) dari Amerika Serikat (AS) tewas saat menyaksikan letusan Anak Krakatau. Oleh karena itu, Ketua Pos Pemantauan Gunung Anak Krakatau, Anton S Tripambudi, mengingatkan agar wisatawan dan nelayan tetap mematuhi imbauan agar tidak mendekati Anak Krakatau dalam radius 2 kilometer. Batasan jarak ini merujuk pada pengalaman saat Anak Krakatau terakhir meletus bisa melontarkan batu sejauh 1,5 kilometer, yakni sudah mencapai perairan di sekeliling pulau ini. Wisatawan dilarang mendarat ke Pulau Anak Krakatau. "Untuk kasus Gunung Anak Krakatau boleh didarati, kalau statusnya aktif normal atau di Level I. Namun, begitu masuk Level II (Waspada), gunung api tidak boleh didekati," kata Anton. Meski demikian, batas 2 km itu kerap tidak digubris. "Informasi dari orang-orang kapal, kadang dijumpai ada wisatawan, terutama orang asing, yang mendarat di GAK," kata Anton. Pada penghujung Agustus 2011 lalu pun terlihat beberapa wisatawan asing yang mendarat dan berkemah di Anak Krakatau, meskipun larangan mendekati pulau gunung api itu di radius 2 km masih diberlakukan. Tak hanya itu, beberapa wisatawan lain terlihat berenang di air laut yang hangat. Bahkan, saat status gunung ini dinaikkan menjadi Siaga (Level III) pada 30 September 2011, pengunjung yang hendak ke Krakatau tak juga berkurang. Aktivitas vulkanik di dalam dapur magma yang sangat tinggi beberapa pekan terakhir, juga tak menimbulkan jeri pelancong. Hayun, pengelola penginapan di Pulau Sebesi, Lampung Selatan, mengatakan, mayoritas wisatawan, utamanya wisatawan asing, yang berkunjung ke tempatnya mengaku tertantang melihat Anak Krakatau saat aktif dari dekat. Mereka tak cukup melihat semburan lava pijar dari kawah Anak Krakatau di malam hari yang bisa dilihat dari Pulau Sebesi atau kompleks Kepulauan Krakatau. Padahal, Krakatau sebenarnya bukan hanya keindahan letusan maupun riwayatnya yang seram. Di Krakatau, pelancong tidak hanya bisa bertualang dan berkesempatan menyaksikan letusan di saat-saat Krakatau memuntahkan isi perutnya, namun juga dapat menikmati flora dan fauna yang hidup di kepulauan itu. Terlebih lagi, gugusan Kepulauan Krakatau yang luasnya 13.605 hektar ini masuk ke dalam kawasan cagar alam dan telah ditetapkan UNESCO sebagai warisan dunia (1991) dan merupakan laboratorium alam bagi teori suksesi. Di Krakatau, pelancong bisa belajar bagaimana kehidupan tumbuh berkembang di daratan yang pernah steril dari kehidupan. Pelaku wisata dan pemerintah semestinya bisa cerdas menangkap peluang yang belum banyak tergarap ini.(Cyprianus Anto Saptowahyono) |
You are subscribed to email updates from KOMPAS.com - Sains To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google Inc., 20 West Kinzie, Chicago IL USA 60610 |